Kesucian adalah pintu pertama yang harus dilalui sebelum seorang muslim berdiri menghadap Allah. Setiap gerakan salat, setiap bacaan, hingga ketundukan hati tidak akan bermakna tanpa diawali dengan kondisi suci. Hadats, baik kecil maupun besar, merupakan penghalang yang harus disingkirkan terlebih dahulu. Inilah bentuk disiplin spiritual Islam: ibadah tidak boleh dilakukan dalam keadaan asal-asalan, tetapi harus dimulai dengan kesiapan lahir dan batin.
Hadats kecil adalah keadaan yang hampir pasti dialami setiap manusia dalam aktivitas sehari-hari. Buang air kecil, buang air besar, kentut, tidur pulas, bahkan hal-hal sepele seperti menyentuh kulit lawan jenis non-mahram menurut sebagian ulama—semua ini dapat membatalkan wudhu dan mengharuskan seseorang untuk kembali menyucikan diri.
Wudhu bukan hanya ritual air. Ia adalah proses menyegarkan diri sekaligus momen yang menghadirkan ketenangan. Ketika air membasuh wajah, seolah lelah dan keruh pikiran ikut luruh bersama tetesannya. Saat tangan, kepala, dan kaki dibasuh, seorang muslim seakan sedang menyapu debu duniawi dari dirinya. Rasulullah ﷺ pun mengajarkan bahwa wudhu menghapuskan dosa-dosa kecil yang dilakukan anggota tubuh—sebuah rahmat yang luar biasa indah.
Seseorang yang salat tanpa wudhu ibarat memasuki ruang kehormatan tanpa etika dan persiapan. Sekalipun ia lupa atau tidak sadar telah batal, salatnya tidak sah. Di sinilah Islam memberi pelajaran penting: ibadah harus dilakukan dengan kesadaran penuh dan persiapan yang benar, bukan sekadar rutinitas yang kosong makna. Setiap wudhu adalah pengingat bahwa kita sedang melangkah menuju Allah dengan kerendahan hati dan kesiapan seluruh diri.
Ada pula kondisi yang lebih berat, yaitu hadats besar. Ia terjadi karena keluarnya mani, hubungan suami istri, haid, atau nifas. Untuk keadaan ini, penyuciannya tidak cukup dengan wudhu tapi diperlukan ghusl atau mandi junub, yaitu membasuh seluruh tubuh hingga bersih tanpa menyisakan satu bagian pun.
Mandi junub adalah simbol permulaan baru. Seorang muslim yang berada dalam hadats besar tidak boleh salat, menyentuh mushaf, atau thawaf. Bahkan sebagian ulama melarangnya berdiam lama di masjid. Maka ketika seseorang mandi wajib, ia seakan membuka kembali pintu ibadah yang sempat tertutup. Aliran air yang merata ke seluruh tubuh bukan sekadar gerakan fisik, tetapi isyarat kembalinya kesucian spiritual.
Dengan memahami perbedaan hadats kecil dan besar, seorang muslim belajar bahwa Islam mengajarkan keteraturan dan kebersihan. Ada tahapan, tata cara, dan hikmah mendalam. Kesucian bukan hanya persoalan lahir tapi juga merupakan pintu pembuka bagi kejernihan jiwa.
Jika hadats berkaitan dengan keadaan tubuh yang perlu disucikan melalui wudhu atau mandi, maka najis adalah benda atau kotoran yang secara syariat dianggap menghalangi ibadah. Najis dapat melekat di badan, pakaian, atau tempat yang digunakan untuk salat. Syariat dengan jelas memerintah umatnya untuk memastikan ketiga hal itu bersih sebelum melaksanakan salat.
Tubuh manusia adalah nikmat Allah, dan Islam mengajarkan agar tubuh dijaga dari najis. Jika najis seperti kotoran manusia, darah, atau muntah menempel pada kulit, maka ia harus dibersihkan terlebih dahulu. Seseorang yang salat dalam keadaan tubuhnya terkena najis, meskipun tidak disengaja, salatnya dianggap tidak sah ketika ia sadar akan hal itu.
Kesungguhan menjaga kebersihan tubuh ini menunjukkan bahwa ibadah dalam Islam bukan hanya aktivitas ritual, tetapi juga bentuk penghormatan terhadap jasad yang Allah titipkan.
Pakaian adalah bagian dari diri yang selalu melekat dan bergerak bersama dalam salat. Najis yang mengenai pakaian—baik sedikit maupun banyak—dapat membatalkan sahnya salat. Islam tidak menghendaki pakaian yang kotor, bukan karena penampilan semata, tetapi karena menghadap Allah menuntut adab dan kesucian.
Pakaian yang bersih membuat seseorang lebih percaya diri dan lebih khusyuk dalam ibadah. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari, orang yang berpakaian bersih lebih nyaman dan lebih dihormati. Begitu pula saat salat, pakaian suci menjadi gambaran kesiapan jiwa untuk bertemu dengan Tuhannya.
Tempat di mana seseorang sujud juga harus bersih dari najis. Sujud adalah posisi paling rendah namun paling mulia dalam salat. Karena itu, area sujud harus bebas dari kotoran. Baik berupa lantai, tikar, sajadah, atau tanah, semuanya harus dipastikan suci. Jika tempat sujud terkena najis, maka salat menjadi tidak sah meskipun najisnya hanya sedikit atau tidak sengaja tersentuh.
Kebersihan tempat salat juga menunjukkan bahwa Islam sangat memperhatikan lingkungan. Masjid yang bersih, rumah yang suci, dan tempat salat yang terawat merupakan tanda penghormatan terhadap ibadah.