Pendidikan Agama Islam sebagai Pilar Etika dan Identitas di Era Krisis Moral dan Budaya Digital”
Pendidikan Agama Islam sebagai Pilar Etika dan Identitas di Era Krisis Moral dan Budaya Digital”
Pendidikan Agama Islam (PAI) pada masa kini memegang peranan yang jauh lebih penting dibanding masa-masa sebelumnya. Di era keterbukaan informasi dan kebebasan berekspresi, generasi muda dihadapkan pada arus budaya global yang beragam, tidak semuanya selaras dengan nilai-nilai Islam. Dampaknya terlihat dalam meningkatnya perilaku menyimpang, seperti pergaulan bebas, bullying, kecanduan gawai, sifat individualistik, serta menurunnya empati dan kepedulian sosial. Dalam konteks ini, PAI hadir bukan hanya sebagai mata pelajaran, tetapi sebagai sistem pembinaan karakter dan orientasi hidup.
Di tengah derasnya informasi tanpa filter, banyak remaja mengalami krisis identitas, yaitu kebingungan dalam menentukan nilai hidup, tujuan, dan jati diri. PAI berperan menanamkan akidah yang kokoh agar setiap individu memiliki sandaran keyakinan yang pasti dan stabil, sehingga tidak mudah terbawa arus nilai-nilai instan atau sesat. Keimanan yang kuat memberi kekuatan mental untuk tetap teguh di tengah tekanan sosial, budaya, dan teknologi yang mengaburkan batas benar dan salah.
PAI juga mengajarkan ibadah ritual, seperti shalat, puasa, dan zakat, bukan sekadar rutinitas namun sebagai latihan pengendalian diri. Shalat misalnya, berfungsi membentuk kedisiplinan, ketulusan, dan ketenangan batin. Dalam realitas sosial saat ini, kecemasan, stres, dan mental health crisis banyak dialami remaja akibat tekanan akademik, sosial media, dan tuntutan masa depan. Ibadah membantu mereka memiliki ruang refleksi personal, menenangkan jiwa, dan mengembalikan kesadaran kepada Allah sebagai sumber kekuatan paling hakiki.
Selain itu, PAI sangat menekankan akhlak sebagai wajah nyata dari keimanan. Akhlak inilah yang menjadi indikator seseorang dianggap beradab atau tidak. Di era ketika banyak orang bangga dengan gaya hidup hedonis, konten sensasional, dan kompetisi popularitas di media sosial, akhlak menjadi kebutuhan mendesak agar manusia tetap memanusiakan manusia. Nilai seperti jujur, rendah hati, menghargai perbedaan, sopan santun, dan tolong-menolong menjadi bekal yang menenangkan kehidupan sosial.
Lalu, dalam ranah intelektual, Islam memberikan dorongan kuat untuk berpikir kritis dan ilmiah. Banyak remaja saat ini terjebak dalam informasi palsu, teori konspirasi, serta narasi radikal karena kurangnya kemampuan literasi agama dan literasi digital. PAI membentuk cara berpikir moderat (tawassuth), seimbang (tawāzun), toleran (tasāmuḥ), dan adil (‘adālah), sehingga peserta didik mampu memilah sumber informasi, bersikap objektif, dan menghindari fanatisme buta.
Dalam kehidupan keluarga, PAI membangun pola interaksi yang penuh kasih, tanggung jawab, dan saling menghormati. Fenomena orang tua sibuk, komunikasi keluarga yang minim, dan anak mencari pelarian ke dunia digital dapat menyebabkan jarak emosional. PAI mengajarkan bahwa keluarga adalah pusat pendidikan pertama, sehingga hubungan antaranggota keluarga harus dipenuhi sikap saling menyayangi, menghormati, dan membimbing dalam kebenaran.
Dalam masyarakat, PAI berperan menciptakan tatanan sosial berkeadilan dan beradab. Nilai seperti gotong royong, solidaritas sosial, dan persaudaraan (ukhuwwah) sangat dibutuhkan untuk meredam polarisasi politik, konflik sosial, dan sikap intoleran yang semakin mudah muncul di media sosial. PAI menumbuhkan empati, sehingga hubungan sosial kembali berbasis kemanusiaan, bukan sekadar kepentingan.
Secara keseluruhan, PAI tidak hanya mendidik aspek pengetahuan tetapi membangun manusia seutuhnya: cerdas intelektual, matang emosional, kuat spiritual, dan mulia moral. Dengan PAI, individu memiliki arah hidup yang jelas, tujuan yang bermakna, dan perilaku yang membawa kedamaian bagi diri dan lingkungan.
Dengan demikian, Pendidikan Agama Islam menjadi pilar penting untuk menjaga identitas, integritas moral, dan kedamaian batin, terutama di masa ketika dunia sedang mengalami krisis nilai dan kemanusiaan. Tanpa PAI, manusia berpotensi kehilangan pijakan, kehilangan empati, dan kehilangan arah hidup.